Arsip Artikel

MENEGUHKAN KEKUATAN SALINAN PUTUSAN ELEKTRONIK SEBAGAI DOKUMEN YANG SAH

Oleh : Dr. Siddiki, M.H.1

Pendahuluan

Jika orang berperkara di Pengadilan Agama dengan memakai proses persidangan secara elektronik, maka menurut norma peraturan perundang-undangan, untuk mengambil salinan putusan/penetapan nya dapat mengunduh (downloadmelalui Akun Pengguna nya pada Sistem Informasi Pengadilan di mana ia berperkara. Proses pengunduhan ini bisa ia lakukan di mana saja asal ada jaringan internitnya. Tinggal menghidupkan perangkatnya, bisa komputer, bisa laptop, bisa android dan lain sebagainya, lalu browsing Sistem Informasi Pengadilan yang dimaksud.

Salinan putusan/penetapan yang diunduh ini merupakan bukti yang sah secara hukum, mempunyai akibat hukum yang sah, sehingga bisa langsung dipergunakan sesuai peruntukannya. Bentuk salinan putusan/penetapan yang semacam ini disebut salinan putusan/penetapan elektronik. Status hukum (sebagai bukti yang sah dan mempunyai akibat hukum yang sah) salinan putusan/penetapan elektronik ini tidak hanya melekat terbatas pada salinan putusan/penetapan yang diunduh yang biasanya dalam bentuk Portable Document Format (pdf), tetapi melekat pula pada hasil cetakannya yang juga mempunyai status hukum yang sama kuatnya.


1 Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Kupang; tulisan ini diselesaikan pada 27-04-2021 pukul 12:14, dan diperbaharui pada tanggal 28-04-2021 pukul 13:03, kenmudian diperbaharui lagi pada tanggal 29-04-2021 pukul 08:14.


selengkapnya KLIK DISINI

 

MENELUSUR HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA

Oleh : Akmal Adicahya, S.H.I.,M.H.
(Hakim pada Pengadilan Agama Lewoleba)

Sebagaimana telah jamak diketahui, hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Herzien Indonesische Reglemen (HIR) dan Rechtsreglemen voor de Buitengesten (RBg). Keduanya merupakan produk hukum peninggalan Belanda yang memang merupakan pedomana beracara dalam peradilan di masa penjajahan belanda. Selain kedua aturan tersebut, terdapat pedoman beracara secara perdata dari ketentuan lainnya seperti Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoordering (BRv). Namun BRv tidak digunakan sebagai sumber hukum acara perdata layaknya HIR dan RBg. Dalam praktik, hanya terhadap sejumlah ketentuan saja seperti upaya intervensi, pencabutan dan perubahan gugatan, serta beberapa tindakan lain yang jika tidak diatur dalam HIR dan RBg, maka BRv digunakan sebagai pedoman. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Januari 1955, sebagaimana dikutip oleh Soepomo menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak boleh menggunakan peraturan-peraturan dalam Burgerlijk Rechtsvoordering, akan tetapi apabila perlu dan berguna, Pengadilan dapat mempergunakan institut-institut dalam BRv asal dalam “ciptaan sendiri” tanpa mempergunakan peraturan-peraturan Rechtsvoordering tersebut.[2]


Selengkapnya klik DISINI